Dinamika Penguat Identitas Etnik Simalungun (Hasimalungunon) di Balik Berdirinya Gereja Kristen Protestan Simalungun
Abstract
Disertasi ini membahas tentang dinamika penguatan identitas etnik yang
dialami orang Simalungun di balik berdirinya GKPS pada 1963 di Simalungun.
Perjuangan komunitas orang Kristen Simalungun menunjukkan identitasnya
sebagai reaksi atas aksi zending 1903 melakukan misi menyebarkan agama
Kristen, politik kolonial Belanda 1907 menguasai Simalungun, dominasi orang
Batak Toba dalam Gereja Batak yang dikenal Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP), menumbuhkan kesadaran identitas orang Simalungun. Pandangan
zending yang menganggap identitas orang Batak Toba sama dengan orang
Simalungun ternyata keliru, sehingga proses konversi agama berjalan lambat.
Namun pada sisi lain orang Simalungun sadar akan identitasnya
(hasimalungunon) yang diabaikan dalam organisasi gereja Batak Toba yang
dibentuk zending.
Fokus pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana dinamika penguatan
identitas etnik Simalungun dalam berdirinya GKPS? Dengan sub fokus khusus
yaitu : Bagaimana identitas etnik Simalungun sebelumnya; Dinamika apa di balik
berdirinya institusi GKPS ?, Bagaimana GKPS menjadi lembaga penyangga
identitas Simalungun?, dan Bagaimana keterkaitan identitas etnik dengan
pembangunan di Simalungun ?.
Untuk menjawab fokus penelitian, digunakan metode penelitian kualitatif,
wawancara mendalam dilakukan terhadap lebih 17 orang informan, observasi di
wilayah Kecamatan Raya dan Pematang Siantar, serta didukung sejumlah
dokumen arsip yang sezaman, dan literatur yang bertalian dengan penelitian.
Hasil penelitian ini menunjukan identitas primordial orang Simalungun
telah menguat dalam proses terbentuknya GKPS, dalam dinamika tahapan historis
temporal 1903, 1928, 1953 dan 1963 yang merupakan puncak perjuangan
sehingga berdiri gereja mereka dengan nama GKPS. Identitas orang Simalungun
telah ditunjukkan dengan kebersamaan dalam „ahab Simalungun‟, dan meluas
bukan hanya di kalangan komunitas Simalungun Kristen. Orang Simalungun
memiliki motivasi untuk bekerja maksimal bukan hanya secara kolektif namun
juga secara individu, untuk kemajuan dirinya serta pada gilirannya dalam segala
aspek kehidupan dengan tetap memperhatikan identitas etnis „hasimalungunon‟,
dalam melaksanakan pembangunan di Simalungun. This dissertation is focused on the dynamics of strengthening ethnic identity
experienced by Simalungun people behind the establishment of Christian
Protestant Church of Simalungun in 1963 in Simalungun. The struggle of the
Simalungun Christian community shows its identity as a reaction to the zending
1903 carry out the mission of spreading Christianity. Dutch colonial politics in
1907 controlled Simalungun, domination of the Toba Batak people in a church
known as the Huria Kristen Batak Protestant (HKBP), raise awareness of
Simalungun identity. Zending view who thinks the identity of the Toba Batak
people the same as Simalungun turns out to be wrong, so the process of religious
conversion is going slow. But on the other side Simalungun people are aware of
their identity (hasimalungunon) which is neglected in the church organization of
Batak Toba formed by zending.
The problem of the research is how is the dynamics of strengthening the
Simalungun ethnic identity in the establishment of GKPS? With a special sub
focuses: How was the previous Simalungun ethnic identity; What is the dynamic
behind the establishment of GKPS institution?; How does GKPS become a
Simalungun identity support institution? And how does ethnic identity relate to
development in Simalungun?
Qualitative methods were used to answer this research, in-depth interviews
were conducted with more than 17 informants, observations done in the Raya and
Pematang Siantar Districts, and supported by a number of contemporary archival
documents, and literature related to this research.
The results of this research indicate that the primordial identity of
Simalungun people has strengthened in the process of the formation of GKPS, in
the dynamic of the temporal historical stages of 1903, 1928, 1953 and 1963 which
is the peak of the struggle so that their church stands under the name GKPS. The
identity of the Simalungun people has been shown in togetherness with 'Ahab
Simalungun', and extends not only to the community of Simalungun Christian.
Simalungun people have the motivation to work optimally not only collectively
but also individually, for the progress and it turn in all aspects of life while still
paying attention to hasimalungunon “ethnic identity”, in carrying out
development in Simalungun.