dc.contributor.advisor | Dalimunthe, Ritha F | |
dc.contributor.advisor | Hamdani | |
dc.contributor.advisor | Delvian | |
dc.contributor.author | Sembiring, Desi Sri Pasca Sari | |
dc.date.accessioned | 2019-12-17T02:36:35Z | |
dc.date.available | 2019-12-17T02:36:35Z | |
dc.date.issued | 2016 | |
dc.identifier.uri | http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/21852 | |
dc.description.abstract | Disaster risk management or PRB (Disaster Risk Response) includes four aspects: 1) disaster alertness, 2) mitigation, 3) emergency, and 4) rehabilitation and reconstruction. Simeulue District is categorized as a disaster prone area because it undergoes recurrent earthquakes and tsunamis according to BPBD (Regional Disaster Response Agency) of Simeulue District. The objective of the research was a) to identify hazard, vulnerability, and capacity in the research area, b) to find out disaster risk management in the research area, and c) to find out the most appropriate model of disaster risk management in the disaster prone area. The data were gathered by conducting observation, structured interviews, and in-depth interviews. Another data gathering was Focus Group Discussion (FGD). In this research, these techniques were aimed to obtain more information from respondents in a certain time so that it could be mutually complete among the respondents. The data were analyzed descriptively in order a) to analyze hazard, vulnerability, and capacity by using questionnaires, maps, history of disaster, and other kinds of information and explained by using descriptive analysis and disaster risk index; b) to describe disaster risk management in the research area by using descriptive analysis and Confirmatory Factor Analysis (CFA) which described the performance of each research variable. These problems would be explained in detail by using maps, case study, and documentary photos; c) to get the most accurate model in managing disaster risk by using AHP analysis. The result of the analysis showed that there were hazard, vulnerability, and capacity as well as disaster risk index in Simeulue District. The highest disaster index in Simeulue District was in Alafan Subdistrict at 191, followed by Salang at 98. The lowest disaster index was in Simeulue Tengah at 49. The result of the research in disaster risk management was a) the most important thing needed in the emergency phase was the indicator of shelter and early warning and b) in the rehabilitation and reconstruction phases, emergency homes and permanent homes were constructed, and c) in the mitigation phase, there were the system of information and supervisory distribution and standardization. What is needed in the alertness phase is the construction of safe houses and schools and local communication system. Traditional wisdom in the emergency phase which can be developed by supplying logistic when disaster occurred in Simeulue District is the spirit of working together which has been existed from generation to generation. For the indicator of shelter, there is the sense of togetherness where people can live together; they consist of some family members at one place in more than three months. Traditional wisdom in the rehabilitation and reconstruction phase which has been implemented is in the period of emergency housing and permanent housing construction. People always followed their old custom in constructing their earthquake-resistant houses since there are a lot of earthquakes occurred in this area. In the mitigation phase, the indicator of traditional information system shows that people send the message which has been done from generation to generation through pantun, lullabies, and local proverbs which are easy to remember and understand. In the alertness phase, the indicator of the construction of safe houses and schools shows that houses and schools which are built in planks and located in the earthquake area, have still been maintained by local people. Disaster risk management model which can be developed in Simeulue District as a disaster prone area is 1) in the emergency phase, there will be logistic (0.210), shelter (0.163), and soup kitchen (0.165), 2) in the rehabilitation and reconstruction phase there will be the construction of permanent houses (0.316) and emergency houses (0.286), 3) in the mitigation phase, there will be information distribution (0.299) and the construction of evacuation lane (0.163), and 4) in the alertness phase, there will be the evacuation area (0.235) and the construction of safe houses and schools (0.165). It is recommended that in the phase of disaster, traditional wisdom supported in the process of disaster response should be maintained like the emergency phase in shelter: togetherness, logistic, and the spirit of working together. In the rehabilitation and reconstruction phase, people’s skill in constructing earthquake-resistant houses should be developed and documented properly. In the mitigation phase, the system of information distribution and evacuation route should also be maintained. These two indicators can be replicated to the other areas that have similar geography to Simeulue District. Information distribution in this area uses traditional media in the form of pantun, proverbs, lullabies, humming, and other traditional devices. This traditional social media can be maintained since almost all territories in Indonesia have this kind of potency. In the alertness phase, natural resources which support the reduction of disaster risk in Simeulue Island should be maintained. The route to the evacuation area should be able to accommodate people, especially the elderly people and children, with their specific needs. If it is necessary, helicopter should be provided in the safe area in order to serve logistic and food reserve should also be increased. | en_US |
dc.description.abstract | Pengelolaan Resiko Bencana atau Penanggulangan Resiko Bencana (PRB), meliputi empat aspek : (1) Kesiapsiagaan bencana (2) Mitigasi (3) Keadaan darurat. (4) Rehabilitasi dan Rekonstruksi . Kabupaten Simeulue dikategorikan wilayah rawan bencana karena kerap kali mengalami gempa bumi dan tsunami menurut catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Simeulue. Penelitian ini bertujuan untuk : a) mengidentifikasi ancaman, kerentanan, kapasitas di wilayah penelitian, b) mengetahui pengelolaan resiko bencana di wilayah penelitian dan c)mendapatkan model pengelolaan resiko bencana yang bagaimana paling sesuai di wilayah rawan bencana. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi (pengamatan), yang kedua dengan wawancara terstrukur yang diteruskan dengan wawancara mendalam. Teknik pengumpulan data yang ketiga, yaitu Focus Group Discussion (FGD). Dalam penelitian ini, teknik ini digunakan untuk menarik informasi secara mendalam dari sejumlah responden dalam satu waktu tertentu, sehingga informasi yang ada dapat saling melengkapi antar sesama responden tersebut. Metode analisis yang digunakan untuk mengartikan hasil eksplorasi permasalahan penelitian adalah deskriptif. Untuk melengkapi penjelasan deskriptif maka beberapa pengujian yakni : a)Untuk menganalisis ancaman (hazard), kerentanan (vulneribility) dan kapasitas (capacity) dilakukan dengan membuat tabel isian, peta, sejarah bencana dan informasi lainnya dan diterangkan dengan analisis deskripif dan indeks resiko bencana b) Untuk menggambarkan pengelolaan resiko bencana yang ada diwilayah penelitian dilakukan dengan analisis deskriptif dan CFA (Confirmatory factor analysis) yang memaparkan keragaan yang ada dari setiap peubah penelitian. Pada permasalahan ini akan dijelaskan secara rinci dengan dilengkapi dengan peta, studi kasus dan foto-foto dokumentasi .c) Untuk mendapatkan model yang paling tepat dalam pengelolaan resiko bencana digunakan analisis AHP. Hasil Penelitian yaitu mendapatkan analisis ancaman, kerentanan dan kapasitas dan indeks resiko bencana di Kabupaten Simeulue. Indeks resiko bencana di Kabupaten Simeulue tertinggi adalah di Kecamatan Alafan, nilai indeks 191 disusul Salang, nilai indeks 98. Indeks resiko bencana terkecil adalah Simeulue Tengah dengan nilai 49 . Hasil penelitian dalam upaya pengelolaan resiko bencana adalah : (a) hal yang paling diperlukan dalam fase darurat adalah indikator hunian sementara (shelter) dan peringatan dini, (b) pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi adalah pembangunan rumah darurat dan rumah permanen, (c) pada fase mitigasi adalah sistem penyebaran informasi dan pengawasan dan standarisasi (4) pada fase kesiapsiagaan yang diperlukan adalah Pembangunan rumah dan sekolah aman dan Sistem komunikasi lokal. Kearifan tradisionil dari fase darurat yang bisa dikembangkan dalam penyediaan logistik ketika bencana di Pulau Simeulue ini adalah semangat gotong royong masyarakat yang telah ada sejak dahulu, untuk indikator shelter adalah kebersamaan, dimana masyarakat bisa hidup bersama, terdiri dari beberapa keluarga dalam satu tempat selama lebih dari tiga bulan. Kearifan tradisionil pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi yang telah diimplementasikan adalah pada masa pembangunan rumah darurat dan rumah permanen Masyarakat tetap mengikuti adat istiadat nenek moyang untuk membangun rumah tahan gempa, karena seringnya gempa terjadi di daerah ini. Dalam fase mitigasi, indikator sistem informasi sebagai tradisionil adalah cara masyarakat meneruskan pesan secara turun temurun, melalui pantun, lagu menjelang tidur, pepatah dalam bahasa lokal sehingga mudah diingat dan dimengerti.Pada fase kesiapsiagaan, indikator Pembangunan rumah dan sekolah aman adalah hal yang dipertahankan sejak dahulu dimana rumah dan sekolah dibangun sesuai didaerah yang sering gempa yang terbuat dari papan. Model pengelolaan resiko bencana yang bisa dikembangkan di wilayah Simeulue sebagai daerah rawan bencana adalah : (1) ada fase darurat (emergency) adalah logistik(0,210), shelter (0,163) dan dapur umum (0,161), (2) pada rehabilitasi dan rekonstruksi adalah pembangunan rumah permanen (0,316) dan rumah darurat (0,286) (3) pada fase mitigasi adalah penyebaran informasi (0,299) dan pembangunan jalur evakuasi (0,163) dan (4) fase kesiapsiagaan adalah area evakuasi (0,235) dan pembangunan rumah dan sekolah aman (0,165). Saran yang bisa dikembangkan adalah dalam fase-fase kebencanaan, kearifan tradisionil yang mendukung dalam proses respon bencana, agar tetap dipertahankan seperti pada fase darurat ada pada shelter: kebersamaan dan logistik semangat gotong royong. Dalam fase rehabilitasi dan rekonstruksi adalah keahlian masyarakat dalam membuat bangunan ramah gempa perlu dikembangkan dan didokumentasikan dengan baik.Pada fase mitigasi sistem penyebaran informasi dan jalur evakuasi merupakan hal yang penting untuk dipertahankan. Dua indikator ini bisa direplikasi ke wilayah lain yang memiliki kesamaan geografis dengan Kabupaten Simeulue. Penyebaran informasi di wilayah ini memakai media tradisionil dalam bentuk pantun, pepatah, cerita menjelang tidur, nandong dan saluran tradisionil lainnya. Media sosial tradisionil ini bisa dipertahankan, dan hampir semua wilayah di Indonesia memiliki potensi ini. Pada fase kesiapsiagaan adalah menjaga sumberdaya alam yang mendukung pengurangan resiko bencana di Pulau Simeulue.Jalan menuju area evakuasi sedapat mungkin harus bisa mengakomodir masyarakat dengan kebutuhan khusus seperti kelompok lanjut usia dan anak- anak. Di area aman perlu ada helipad untuk pendukung logistik. Cadangan pangan lokal perlu ditingkatkan untuk mendukung ketahanan pangan. | en_US |
dc.language.iso | id | en_US |
dc.publisher | Universitas Sumatera Utara | en_US |
dc.subject | Pengelolaan | en_US |
dc.subject | Resiko | en_US |
dc.subject | Fase Kebencanaan | en_US |
dc.subject | Kearifan Tradisional | en_US |
dc.title | Model Pengelolaan Resiko Bencana di Wilayah Rawan Bencana Kabupaten Simeulue Provinsi Aceh | en_US |
dc.type | Thesis | en_US |
dc.identifier.nim | NIM098106007 | |
dc.description.pages | 240 Halaman | en_US |
dc.description.type | Disertasi Doktor | en_US |