Kedudukan Hak Pengelolaan dalam Sistem Hukum Pertanahan Nasional

Abstract

The right of management is the right to control by the state in which a part of its authority to implement it is delegated to the right holders such as the ministry, local government, state’s owned enterprise, and regional government’s owned enterprises. The existence of the right of management is not land rights regulated in the Land Act No. 5/1960, but it is the right which is based on the regulation under the law, based on the Decree of the Minister of Agrarian Affairs No. 9/1965 on the Implementation of the Conversion of the Right to Control by the State and the Provisions on the Following Policies. The ministerial decree introduced the term, the right of management, for the first time by referring to the Government Regulation No 8/1953 at that time. It gave the authority and freedom to plan acquisition and use, which actually appropriately uses the term, the use and acquisition, because the use was use planning or in urban planning it is called zoning, and acquisition was bestemming which was specifically came from the use planning. Article 6 of the Regulation of the Minister of Agrarian Affairs No. 9/1965 states that the term, the right of management, used to have the authority to 1. plan the allotment of land use, 2. use the land for the need of executing duties, 3. receive income money/compensation and/or annual fee. Based on the background of the problems that have been stated above, it can be formulated some problems as follows: 1. How does the authority of the rightsholder of management derive from the delegation of power from the state controlling right? 2. What is the legal standing of the rightsholder of management and right-holder on the management right land ? 3. Why is the implementation of land management rights potentially causing land issues ? Article 2, paragraph 4 of the Land Act No 5/1960 states that “the implementation of the Right to Control by the State can be authorized to local governments and the adat communities as far as they are not contrary to the national interest, according to the Government regulations.” The content of Article 2, paragraph 4 of the Land Act No. 5/1960 above can cause double interpretation when it is read literally, it is given the management to an authority that is later on systematically related to Article 4, paragraph 2 of the Land Act No. 5/1060 regarding the problem of the implementation of “controlled by the state,” the word, ‘management’ tends to have the connotation as the function. However, since the formulation is related to the subordinate clause preceded it, the giving of a plot of land is related to various kinds of land rights, and its systematic interpretation of the word, management can be led to its connotation as the right. However, the correlation with the violation against Article 16, paragraph 1, letter h of the Land Act No. 5/1960 is indubitable because Article 16, paragraph 1, letter h of the Land Act No. 5/1960 clearly states that “the other rights” which are not included these rights will be stipulated as a law and with its temporary rights as it is stipulated in Article 53 of the Land Act No. 5/1960. The conclusion of the research is that the Right of Management which is the delegation of authority and the implementation of authority from the principle of the Right to Control by the State, in its implementation in the field, is actually paradoxical to the principle itself. The right of management which is the implementation of a part of authority because of its assistance principle (medebewind) from the right to control by the state, in its implementation, has exceeded the authority which has been delegated which includes public rights and individual rights as if it returns to the principle of domain verklaring. The problem of land which arises because of the implementation of the right of management is the incidence of distortion of principle and reduction of norms in some regulations which regulate the right of management, especially in the Regulation of the Minister of Agrarian Affairs No. 9/1965. It is recommended that it is the time for the central government to consider that the right of management is returned to its original state, the right to control by the state. However, when the existence of the right of management is still needed to be maintained, it is recommended that law or the Government Regulation specifically regulate the Right of Management as it is stipulated in Article 2, paragraph 4 of the Land Act No. 5/1960. Meanwhile, the nomenclature of the right of management should be changed to management function, management authority, or the right of regional management so that there will be no misinterpretation by laymen or common people. In the case of a transferring legal act by the land right holders on the right of management to someone else in making the collateral so that when the right on the land of the right of management will be renewed, it is not necessary to request the approval of the right of management holders; all of them should be considered as equal like building rights / the right of use and the other rights on the land of the right to control by the state in general.

Hak pengelolaan merupakan hak menguasai negara yang wewenang pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, yaitu: kementerian, pemerintah daerah, perusahaan milik negara, dan perusahaan milik daerah. Keberadaan hak pengelolaan bukan merupakan hak atas tanah yang didasarkan pada Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, tetapi merupakan hak yang didasarkan pada peraturan di bawah undang-undang, yaitu berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Menguasai Negara dan Ketentuan-Ketentuan tentang Kebijaksanaan Selanjutnya. Peraturan menteri ini memperkenalkan istilah hak pengelolaan untuk pertama kalinya dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1953 pada saat itu memberikan kewenangan dan keleluasaan untuk merencanakan peruntukan dan penggunaan, yang sebenarnya lebih tepat memakai istilah penggunaan dan peruntukan, oleh karena penggunaan adalah use planning atau secara perencanaan kota dinamakan zoning dan peruntukan adalah bestemming yang khusus dari suatu use planning itu. Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965, menentukan hak pengelola atas tanah semula mempuyai kewenangan: 1. merencanakan, peruntukan, penggunaan tanah, 2. menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, 3. menerima uang pemasukan/ganti rugi dan/atau uang wajib tahunan. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kewenangan pemegang hak pengelolaan bersumber dari pelimpahan kuasa dari hak menguasai negara? 2. Bagaimana kedudukan hukum pemegang hak pengelolaan dan pemegang hak di atas tanah hak pengelolaan? 3. Mengapa pelaksanaan hak pengelolaan atas tanah berpotensi menimbulkan permasalahan pertanahan ? Adapun bunyi Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 adalah sebagai berikut: “Hak menguasai dari negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.” Pasal ini memang dapat menimbulkan tafsiran ganda, apabila dibaca secara harfiah yaitu memberikan pengelolaan kepada sesuatu badan penguasa kemudian dikaitkan secara sistematik dengan bunyi Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang berhubungan dengan persoalan pelaksanaan “Penguasaan oleh Negara” maka kata pengelolaan, lebih berkonotasi sebagai fungsi, tetapi karena rumusan tersebut dirangkaikan dengan anak kalimat yang mendahuluinya justru pemberian tanah itu dihubungkan dengan macam-macam hak atas tanah maka penafsiran sistematik atas kata pengelolaan dapat juga membawa kearah pengertian sebagai hak. Tapi dalam hubungannya dengan pelanggaran Pasal 16 ayat (1) huruf h seharusnya tidak perlu diragukan lagi karena bunyi Pasal 16 ayat (1) huruf h Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 itu jelas sekali “hak-hak lain” yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960. Penelitian ini menyimpulan bahwa, hak pengelolaan yang merupakan pelimpahan wewenang dan pelaksanaan kuasa dari azas hak menguasai negara ternyata dalam penerapan lapangan menjadi paradoks bagi asas itu sendiri. hak pengelolaan yang merupakan pelaksanaan sebagian wewenang karena sifat pembantuan (medebewind) dari hak menguasai negara dalam pelaksanaannya telah melampaui wewenang yang dikuasakan yang mencakup hak publik dan hak privat, seolah-olah kembali pada asas domain verklaring. Permasalahan pertanahan yang timbul akibat dari pelaksanaan hak pengelolaan adalah terjadinya distorsi asas dan reduksi norma pada beberapa regulasi yang mengatur tentang hak pengelolaan, terutama pada Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965. Saran yang diajukan dari hasil penelitian ini adalah pemerintah pusat sudah saatnya mempertimbangkan bahwa hak pengelolaan dikembalikan semula kepada hak asalnya yaitu hak menguasai negara. Namun apabila keberadaan hak pengelolaan masih perlu dipertahankan, maka disarankan segera dilahirkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang mengatur khusus hak pengelolaan sebagaimana yang diperintahkan oleh pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun1960. Sedangkan nomenklatur hak pengelolaan tersebut diganti saja menjadi fungsi pengelolaan, kuasa pengelolaan atau hak menguasai daerah, sehingga tidak menimbulkan kesalahan tafsir bagi masyarakat awam. Kemudian dalam hal perbuatan hukum pengalihan oleh pihak pemegang hak di atas hak pengelolaan kepada pihak lain, menjadikan objek hak tanggungan dan pada saat akan memperpanjang hak ketika hak atas tanah hak pengelolaan agar tidak diperlukan lagi mengajukan permohonan persetujuan dari pemegang hak pengelolaan, kesemuanya cukup diperlakukan sama seperti hak guna bangunan / hak pakai dan hak lainnya yang berada di atas tanah hak menguasai negara secara umum.