• Login
    View Item 
    •   USU-IR Home
    • Faculty of Law
    • Doctoral Dissertations
    • View Item
    •   USU-IR Home
    • Faculty of Law
    • Doctoral Dissertations
    • View Item
    JavaScript is disabled for your browser. Some features of this site may not work without it.

    Standar Pertanggung jawaban Pemegang Saham Bank Berdasarkan Piercing The Corporate Veil di Indonesia

    View/Open
    Full Text (3.215Mb)
    Date
    2020
    Author
    Nugroho, Sandi
    Advisor(s)
    Nasution, Bismar
    Juwana, Hikmahanto
    Sitompul, Zulkarnain
    Metadata
    Show full item record
    Abstract
    The implementation of shareholders’ alter ego and their liability according to the principle of Piercing the Corporate Veil in Indonesia has legal problem in legal system. This is caused by illegal act in the implementation of shareholders’ alter ego and the doctrine of Piercing the Corporate Veil which makes it difficult to distribute a certain guilty act (actus reus) and to prove the element of mens rea (criminal intent or guilty mind) of an abstract entity such as a corporation which has shareholders. Besides that, a problem arises in organizing this doctrine in Law No. 40/2007. On the one hand, Law on Corporation accommodates the doctrine of ‘separate legal personality of a company’; on the other hand, the Law also accommodates the doctrine of ‘piercing the corporate veil’. It means that in certain things, the limitation of shareholders’ liability is not applicable as it is stipulated in Article 3, paragraph (2) of Law on Corporation used as the standard which makes shareholders unprotected by the doctrine of ‘separate legal personality of a company’ while based on the doctrine of ‘piercing the corporate veil’ shareholders are liable, including for their personal property. Indonesia has Law No. 40/2007 which regulates shareholders’ liability in a corporation activity, but it seems that it is not consistent so that there is obscurity in legal norms concerning shareholders’ liability such as, first, their liability is about personal responsibility for the company. It means that when the corporation is not able to run its business, the shareholders are only liable for their shares in the company which is based on the doctrine of ‘separate legal personality of a company’. Secondly, the doctrine of piercing the corporate veil means that shareholders have the liability for their own properties. Its implementation can be implemented in the cases such as fraud, inadequate capitalization, failure to meet the formality of company establishment, and abuse of power in a company due to the domination of one or more shareholders (alter ego). In Indonesia, even though Law on Corporation can be used as legal grounds to impose criminal liability on shareholders. Criminal court of justice has been reluctant to use these regulations which can be seen from the scarcity of the shareholder criminal cases in tried in the courts. In consequence, verdicts on shareholders’ liability by emphasizing alter ego and piercing the corporate veil as the basis for determining their fault. This dissertation used juridical normative based on the analysis on legal norms, either law as it is written in the books or law as it is decided by judge through judicial process. The approach used in this research was comparative study by comparing law dominated by shareholders as alter ego and their liability according to piercing the corporate veil owned by the Bank owners. The data were obtained from library research, using secondary data which were analyzed qualitatively. The result of the analysis showed that in applying alter ego and the liability of shareholders, especially the shareholders of a bank as piercing corporate veil in law on corporation in Indonesia. However, since it is not completely regulated, it cannot be implemented well because there is hesitation of the Administration of Justice in implementing it in the case of banking. The liability of a bank owner in corporate criminal act based on piercing the corporate veil and alter ego which are found in some banking cases, Administration of Justice ignores in its legal consideration or in Verdict. Courts in Indonesia should implement the liability of a corporation which commits offense by being guided by the Directive of the Supreme Court No. 13/2016 on the Procedure of Handling Criminal Act committed by a Corporation which explicitly recognizes the liability of shareholders based on piercing the corporate veil as it is specified in Article 4, paragraph (2) which states that in imposing a sentence on corporation. In this case, the Judge can assess the guilt of a corporation specified in paragraph (1): 1. Corporation can get benefit from the criminal act; 2. Corporation allows the incidence of criminal act; 3. Corporation does not take any measures to prevent greater effect and to comply with legal provisions to avoid any criminal act; Alter ego and piercing the corporate veil regulation in detail can substantially determine when shareholders belong to the category of alter ego and piercing the corporate veil in Indonesia. Therefore, elaboration of standard of opinion of the American courts should be put in to the standard of piercing the corporate veil in Indonesia; for example, in the case of the United States vs. Bank of New England (1987) 821 F2d 844. Bank of New England was charged of intentionally not reporting currency transaction. The charge is confirmed by the evidence since it is considered as a bank’s ‘knowledge’ which is the totality of all of the knowledge of its employees in the scope of the authority. The case of Burchinal vs. PJ Trailers-Seminole Management Company LLC, the case of In re Arnette, the case of TMX Finance Holdings vs. Wellshire Financial Service, and the case of Rose Hall, Ltd vs. Chase Manhattan Overseas Banking Corporation.
     
    Penerapan alter ego Pemegang Saham dan pertanggungjawaban pemegang saham berdasarkan prinsip Piercing the Corporate Veil di Indonesia mengalami benturan hukum dengan sistem hukum yang ada. Pertanggungjawaban yang timbul dari adanya perbuatan melawan hukum dalam penerapan alter ego pemegang saham dan penerapan dokrtin Piercing the Corporate Veil sangat sulit untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atau guilty act) serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atau guilty mind) dari suatu entitas abstrak seperti korporasi yang di dalamnya ada pemegang saham. Di samping itu, permasalahan yang muncul berkaitan dengan pengaturan doktrin ini di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, di satu sisi Undang-Undang Perseroan Terbatas mengakomodasi doctrine of separate legal personality of a company dan di sisi lain Undang-Undang tersebut juga mengakomodasi doktrin piercing the corporate veil. Artinya, dalam hal-hal tertentu keterbatasan tanggung jawab pemegang saham itu tidak berlaku, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Perseroan Terbatas di muka. Dimana ketentuan Pasal 3 ayat (2) itu menjadi ukuran yang membuat pemegang saham tidak dilindungi oleh the doctrine of separate legal personality of a company. Berdasarkan doktrin piercing the corporate veil pemegang saham bertanggung jawab sampai kepada harta pribadi. Indonesia mengatur terkait Perseroan Terbatas di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Undang-undang ini mengatur tanggungjawab pemegang saham di dalam menjalankan kegiatan perseroan, namun di dalam pengaturannya terlihat tidak kosisten sehingga terjadi adanya kekaburan norma hukum menyangkut pertanggungjawaban pemegang saham, antara lain: Pertama, tanggungjawab pemegang saham merupakan penentuan pembatasan tanggung jawab pribadi pemegang saham atas kewajiban perusahaan. Artinya, pada saat perseroan tidak mampu untuk memenuhi kewajibannya, maka pemegang saham hanya bertanggung jawab sebesar jumlah modal yang disertakanya dalam perseroan. Hal ini didasarkan pada doktrin separate legal personality of a company. Kedua, adanya doktrin piercing the corporate veil diartikan pemegang saham bertanggung jawab sampai kepada harta pribadi. Penerapan doktrin piercing the corporate veil dapat dilakukan dalam kasus-kasus, seperti penipuan (fraud), modal yang tidak mencukupi (inadequate capitalization), kegagalan untuk memenuhi formalitas pendirian perusahaan, dan menyalahgunakan kewenangan dalam perusahaan sebagai akibat adanya dominasi satu atau lebih pemegang saham (alter ego). Di Indonesia, meskipun undang-undang perseroan terbatas dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal liability terhadap pemegang saham. Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan pemegang saham korporasi di pengadilan dan tentu saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan yang dapat menerapkan pertanggungjawaban pemegang saham dengan meletakkan alter ego dan Piercing the Corporate Veil sebagai dasar untuk menentukan kesalahan pemegang saham. Metode penelitian yang digunakan pada penelitian disertasi ini berorientasi pada jenis penelitian hukum normatif yang berbasis pada analisis terhadap norma hukum, baik hukum dalam arti law as it is written in the books, maupun hukum dalam arti law as it is decided by judge through judicial process. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi perbandingan (comparative study), dimana dalam dalam penelitian ini dilakukan penelitian perbandingan hukum dominasi pemegang saham sebagai alter ego dan pertanggungjawabannya menurut piercing the corporate veil pada pemilik Bank. Data yang diperoleh pada disertasi ini bersumber dari data pustaka (library research) dengan menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Analisis data menggunakan analisis secara kualitatif. Hasil penelitian menemukan bahwa dalam penerapan alter ego dan pertanggungjawaban pemegang saham, khususnya pemegang saham bank yang dikategorikan sebagai piercing the corporate veil dalam hukum perseroan di Indonesia belum cukup diatur dalam perundang-undangan di Indonesia. oleh karena belum lengkapnya peraturan perundang-undangan seperti tersebut di atas, maka penentuan dominasi pemegang saham sebagai alter ego dan pelaksanaan doktrin piecing the corporate veil tidak dapat ditentukan sebagaimana mestinya, karena masalah yang dihadapi adalah terdapat keraguan bagi lembaga peradilan dalam penerapan piercing the corporate veil dan alter ego dalam kasus perbankan yang terjadi. Penentuan pertanggungjawaban pemilik Bank dalam kejahatan korporasi yang didasarkan pada piercing the corporate veil dan alter ego telah terdapat dalam beberapa kasus perbankan, namun dalam penerapan tersebut lembaga peradilan tidak menyinggung doktrin-doktrin tersebut baik dalam pertimbangan hukum maupun dalam putusan. Pengadilan di Indonesia untuk menerapkan pertanggungjawaban korporasi yang melakukan kejahatan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016 tentang Tatacara Penanganan Perkara Tindak Pidana Oleh Korporasi yang secara eksplisit mengenal pertanggungjawaban bagi pemegang saham berdasarkan piercing the corporate veil, antara lain termuat dalam Pasal 4 ayat (2), yang menyatakan bahwa dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi sebagaimana ayat (1) antara lain: 1. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi; 2. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau 3. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana. Peraturan alter ego dan piercing the corporate veil yang terperinci secara substansial tentunya dapat menentukan pada saat kapan pemegang saham masuk dalam kategori alter ego atau piercing the corporate veil di Indonesia. Untuk itu perlu adanya elaborasi dari standar pendapat pengadilan Amerika Serikat untuk dimasukkan menjadi standar piercing corporate veil di Indonesia, misalnya dalam kasus United States v. Bank of New England (1987) 821 F2d 844. Bank of New England didakwa dengan tuduhan secara sengaja tidak melaporkan suatu transaksi mata uang. Tuduhan ini terbukti karena yang dianggap sebagai ‘pengetahuan’ bank merupakan totalitas dari semua yang diketahui oleh para pegawai dalam ruang lingkup kewenangan mereka. Perkara Burchinal V. PJ. Trailers-Seminole Management Company LLC, perkara In re Arnette, perkara TMX Finance Holdings V. Wellshire Financial Services dan perkara Rose Hall, Ltd V. Chase Manhattan Overseas Banking Corporation

    URI
    http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/26214
    Collections
    • Doctoral Dissertations [147]

    Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara (RI-USU)
    Universitas Sumatera Utara | Perpustakaan | Resource Guide | Katalog Perpustakaan
    DSpace software copyright © 2002-2016  DuraSpace
    Contact Us | Send Feedback
    Theme by 
    Atmire NV
     

     

    Browse

    All of USU-IRCommunities & CollectionsBy Issue DateTitlesAuthorsAdvisorsKeywordsTypesBy Submit DateThis CollectionBy Issue DateTitlesAuthorsAdvisorsKeywordsTypesBy Submit Date

    My Account

    LoginRegister

    Repositori Institusi Universitas Sumatera Utara (RI-USU)
    Universitas Sumatera Utara | Perpustakaan | Resource Guide | Katalog Perpustakaan
    DSpace software copyright © 2002-2016  DuraSpace
    Contact Us | Send Feedback
    Theme by 
    Atmire NV