Show simple item record

dc.contributor.advisorJalil, Husni
dc.contributor.advisorThaib, Hasballah
dc.contributor.advisorNasution, Faisal Akbar
dc.contributor.authorSari, Elidar
dc.date.accessioned2020-12-01T02:43:52Z
dc.date.available2020-12-01T02:43:52Z
dc.date.issued2019
dc.identifier.urihttp://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/29522
dc.description.abstractThe role of scholars in national law and politics is getting bigger, and even inseparable from political, economic, social, cultural, legal and security life. For this reason, there is a need to reposition the role of scholars in national law and politics. Religious spirit and spirit in national law and politics today have been intertwined so strongly, then state law must be revived which accommodates the role of scholars more significantly. The problem in this study was to try to see how the role of scholars institutions in Aceh, as a result of the shifting role of the former scholars institutions now and why the role of scholars institutions in Aceh did not get an equal position with the government, even though scholars and institutions were highly valued. The methods used in this dissertation is to use this kind of research qualitatif with the normative approach and use of socio legal assessment by looking at history and is associated with the rule of constitutional law in Indonesia in general, Aceh particularly. The results showed that there had been a shift in the role of the scholars institution in Aceh and consequently the authority of the scholars institution which had been formalized with Law No. 44 of 1999 concerning the Privileges of Aceh to not be so instrumental in government. Scholars institutions in Aceh, namely the Scholars Consultative Assembly (MPU), could truly be equal partners of the Aceh government by listening to and asking for advice, criticism and consideration of the implementation of Islamic Sharia in Aceh and the scholars institution was given the authority to determine its own budgetary needs. For this reason, as scholars must have responsibility in accordance with the demands of religion to meet the needs of the community. The function of religion articulated and aggregated by scholars is very important for the realization of the nomocracy system in Indonesia. By using the method of socio-legal-historical studies, as well as legal anthropology, this research produces a conclusion about the nomocracy system in administrative law Indonesia which is currently heavily influenced by liberal democracy. Suggestions can be given is to revise Act Number 44 of 1999 concerning binding efforts from suggestions and criticisms of scholars institutions, as well as the freedom of scholars institutions in determining the budget of their own needs so that the independent nature of these institutions is higher and the role of scholars institutions can really be aligned with the Aceh government.en_US
dc.description.abstractPeran ulama dalam hukum dan perpolitikan nasional semakin membesar, dan bahkan sudah tak terpisahkan dari kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum dan keamanan. Untuk itu, perlu adanya reposisi peran ulama dalam hukum dan perpolitikan nasional. Jiwa dan semangat keagamaan dalam hukum dan perpolitikan nasional dewasa ini telah berkelindan demikian kuat, maka harus dihidupkan kembali hukum tata-negara yang mengakomodasikan peran ulama secara lebih signifikan. Permasalah dalam penelitian ini adalah mencoba melihat bagaimana peran lembaga ulama dalam pemerintahan di Aceh, akibat pergeseran peran lembaga ulama dahulu dengan sekarang dan kenapa peran lembaga ulama di Aceh tidak mendapatkan posisi yang sejajar dengan pemerintahan, padahal dulunya ulama dan lembaganya sangat dihargai. Metode yang dipakai pada disertasi ini adalah menggunakan jenis penelitian kwalitatif dengan pendekatan normatif dan menggunakan kajian sosio legal dengan melihat sejarah dan dikaitkan dengan aturan hukum tata negara di Indonesia pada umumnya, Aceh pada khususnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran peran lembaga ulama di Aceh dan akibatnya adalah kewibawaan lembaga ulama yang telah diformalisasi dengan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh menjadi tidak begitu berperan dalam pemerintahan. Seharusnya lembaga ulama di Aceh yaitu Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) bisa benar-benar menjadi mitra sejajar pemerintahan Aceh dengan mendengarkan dan meminta saran, kritikan dan pertimbangan tentang pelaksanaan Syariat Islam di Aceh dan lembaga ulama diberi kewenangan untuk menentukan kebutuhan anggarannya sendiri. Untuk itu, sebagai ulama harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tuntutan agama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Fungsi agama yang diartikulasikan dan diagregasi oleh para ulama sangat penting demi terwujudnya sistem nomokrasi di Indonesia. Dengan menggunakan metode kajian sosio-legal-historis, dan juga legal antropologis, penelitian ini menghasilkan sebuah kesimpulan tentang sistem nomokrasi dalam hukum tata-negara Indonesia yang saat ini sangat terpengaruh oleh demokrasi liberal. Saran yang dapat diberikan adalah agar merevisi undang-undang nomor 44 tahun 1999 tentang upaya mengikat dari saran dan kritikan lembaga ulama, serta kebebasan lembaga ulama dalam menentukan anggaran kebutuhan lembaga sendiri sehingga sifat independen lembaga ini semakin tinggi dan peran lembaga ulama dapat benar-benar disejajarkan dengan pemerintahan Aceh.en_US
dc.language.isoiden_US
dc.publisherUniversitas Sumatera Utaraen_US
dc.subjectLembaga Ulamaen_US
dc.subjectAcehen_US
dc.subjectSosio-Legalen_US
dc.subjectPeranen_US
dc.titleLembaga Ulama dalam Hukum Tata Negara: Studi Sosio-Legal Pergeseran Peran Lembaga Ulama dalam Pemerintahan Acehen_US
dc.typeThesisen_US
dc.identifier.nimNIM098101003
dc.description.pages329 Halamanen_US
dc.description.typeDisertasi Doktoren_US


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record