Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan dengan Perdamaian di dalam atau di luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)
View/ Open
Date
2009Author
Sitompul, Manahan M.P
Advisor(s)
Badrulzaman, Mariam Darus
Wahab, Amiruddin Abdul
Nasution, Bismar
Metadata
Show full item recordAbstract
Bankruptcy is a part of Economical Law having characteristics of civil and public laws. Bankruptcy is a public seizure over all the properties of debtors for satisfaction of creditors collectively. The law of bankruptcy functions to govern proportionally interests of individual (subject of law) and public to reach collective welfare. The Indonesian law of bankruptcy is initially stipulated in FaillisementsVerordering (Staatblad of 1905 No. 217 related to Staatblad of 1906 No. 348). The rule of Netherlands cannot meet requirements of advances need especially to overcoming monetary crisis. One consequence of the monetary crisis not only the distress faced by any company to repay liability either domestic or foreign, further even to maintain the survival of their business. Such economic circumstances of Indonesia have negative impact on foreigners confidence. To recover this with the crucial reason and consideration, the Government has issued the Governmental Rule for substitution of the Laws (Perpu) No.1 of 1998 and this Rule has been established to be the Laws by the Laws No 4 of 1998 hereinafter referred to as The Laws of Bankruptcy (UUK) The globalization phenoment of economic is seem obviously, in terms of transfer of financial and resources as if there’s no world’s disparities. In Law of Business, the UUK can create condusive, circumstances for national economy and help any debtor led to bankruptcy with is due to failure to repay liability. The public comment on the Substituting Rule No. 1 of 1998 related to the Laws No. 4 of 1998 that claimed to immediately make it more comprehensive and representative has been responded by the Government through a legislation to establish and validate the Laws No 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment hereinafter referred to as the Laws of Bankruptcy and Suspension of Payment (UUK & PKPU). The progress of bankruptcy and citation of Suspension of Payment (PKPU) in the title of Laws shows that the Suspension of Payment (PKPU) is an important facility for recovery of receivable and liability which has an essence of agreement. Since the monetary crisis in 1998, the Government has established Prakarsa Jakarta as a Special Institution functioning to be a mediator and facilitator for resolution of private receivable and liability out of court. In particular, in repayment of foreign liability of the national private, INDRAManahan M.P Sitompul : Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang), 2009 USU Repository © 2008 (Indonesian Debt Restructuring Agency) has been established to provide an Administrative Scheme of Receivable and Liability Resolution. Both Prakarsa Jakarta and INDRA have completed their task in 2003 ago. It had given a valuable experience for Indonesia in dealing with the receivable and liability especially due to the significantly exchange rate of USA dollar to rupiah. PKPU as a flexible institution can function to resolute any dispute of receivable and liability of a corporate between debtor and creditor. In general, the combination of moratorium and restructurization of liability in an agreement should be accomplished no more than 270 (two hundred and seventy) days. From the study carried out at 5(five) Commercial Courts in Indonesia resulting from 600 (six hundred) cases of bankruptcy and Suspension of Payment (PKPU), there were only 92 (ninety two) cases or 15% (fifteen percents) that had been resolved in an agreement, whereas the remaining 297 (two hundred and ninety seven) cases or 49% (forty nine percents) of debtors were bankrupt and liquidated. Should the Laws of Bankruptcy and Suspension of Payment (PKPU) have been oriented, some would still be restructured out of 297 (two hundred and ninety seven) bankrupt and liquidate, referring to the Reorganization Chapter 11 of USBC. It become an idea offered to order those debtors leading to bankruptcy to reorganize. Therefore, the change “UUK dan PKPU” into “UUK dan Reorganisasi Perusahaan” is an expectation of futuristic view for realization of a modern law of bankruptcy in Indonesia. Hukum Kepailitan adalah bahagian dari Hukum Ekonomi yang memiliki sifat Hukum Perdata maupun sifat Hukum Publik. Kepailitan merupakan suatu penyitaan umum atas seluruh kekayaan debitor untuk kepentingan para kreditor secara bersama-sama. Hukum Kepailitan fungsinya mengatur kepentingan individu (subjek hukum) dan kepentingan masyarakat yang seimbang untuk mencapai kemakmuran bersama. Hukum Kepailitan Indonesia semula diatur dalam FaillisementsVerordening (Staatblad Tahun 1905 Nomor 217 jo. Staatblad Tahun 1906 Nomor 348). Peraturan dari zaman Belanda ini tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam menghadapi perkembangan terutama untuk mengatasi krisis moneter. Salah satu akibat krisis moneter ini adalah sulitnya dunia usaha untuk membayar utang-utangnya baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri, bahkan mengalami kesulitan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya. Situasi dan kondisi perekonomian Indonesia ini mempunyai dampak negatif terhadap kepercayaan luar negeri. Untuk memulihkan kepercayaan ini, dengan alasan dan pertimbangan kegentingan yang memaksa, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998, dan Perpu ini telah ditetapkan menjadi Undang-Undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan (UUK). Fenomena Globalisasi nampak nyata dalam bidang ekonomi dilihat dari adanya kebebasan gerak perusahaan dan uang melintasi batas-batas negara bangsa, sehingga dunia tanpa batas sangat dirasakan dalam kegiatan perekonomian Internasional. Dalam bidang Hukum bisnis perlu adanya peraturan Hukum Kepailitan yang menciptakan keadaan kondusif bagi kehidupan perekonomian Nasional dan dapat mempertahankan perusahaan debitor yang terancam pailit akibat kesulitan membayar utang-utangnya. Komentar masyarakat terhadap Perpu Nomor 1 Tahun 1998 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, yang minta agar segera disempurnakan menjadi lebih komprehensif dan representatif, telah direspons oleh pemerintah melalui program legislasi membentuk dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (UUK dan PKPU). Perkembangan kepailitan dan penyebutan PKPU dalam judul Undang-Undang menunjukan bahwa PKPU merupakan sarana penting dalam penyelesaian utang piutang yang intinya perdamaian. Sejak terjadinya krisis moneter tahun 1998, Pemerintah juga telah membentuk Prakarsa Jakarta sebagai Lembaga Khusus yang berfungsi sebagai Mediator sekaligus fasilitator dalam penyelesaian utang piutang swasta diluar pengadilan. Khusus untuk pembayaran utang luar negeri swasta nasional dibentuk INDRA (Indonesian Debt Restructuring Agency) untuk menyediakan Skema Adiministrasi penyelesaian utang piutang. Prakarsa Jakarta telah mengakhiri tugasnya pada tahun 2003 yang lalu, sedang INDRA telah dibubarkan kemudian setelah mencapai tugas-tugasnya. Hal ini telah memberi pengalaman bagi Indonesia dalam menanggulangi masalah utang piutang terutama akibat perubahan kurs dollar AS terhadap rupiah yang signifikan. PKPU sebagai lembaga yang fleksibel dapat difungsikan menyelesaikan sengketa utang piutang perusahaan antara debitor dengan para kreditornya. Pada umumnya dilakukan kombinasi antara moratorium (penundaan) dengan restrukturisasi utang dalam suatu perjanjian perdamaian yang harus dicapai dalam jangka waktu 270 (dua ratus tujuh puluh) hari. Dari hasil penelitian di 5 (lima) Pengadilan Niaga di Indonesia, dari 600 (enam ratus) perkara Kepailitan dan PKPU yang masuk, hanya 92 (sembilan puluh dua) perkara atau 15% (lima belas persen) yang diselesaikan dengan perdamaian, sedang dalam 297 (dua ratus sembilan puluh tujuh) perkara atau 49% (empat puluh sembilan persen) debitor dinyatakan pailit dan dilikuidasi. Seyogianya dari 297 (dua ratus sembilan puluh tujuh) debitor dinyatakan pailit dan dilikuidasi, masih banyak yang dapat diselamatkan apabila Undang-Undang Kepailitan dan PKPU berkiblat pada reorganisasi perusahaan dengan berpedoman pada Reorganization Chapter 11 USBC. Dalam hal Pengadilan Niaga diberi kewenangan memerintahkan perusahaan debitor yang terancam pailit untuk direorganisasi adalah salah satu ide yang ditawarkan. Oleh karena itu perubahan “UUK dan PKPU” menjadi “UUK dan Reorganisasi Perusahaan” adalah merupakan suatu harapan “futuristic View” dalam mewujudkan suatu Hukum Kepailitan Modern di Indonesia.
Collections
- Doctoral Dissertations [147]