Penguasaan Atas Pengelolaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (MUKIM) di Provinsi Aceh
View/ Open
Date
2010Author
Taqwaddin
Advisor(s)
Rasyidi, Lili
Arifin, Syamsul
Syahrin, Alvi
Metadata
Show full item recordAbstract
Hundreds years ago, there were indigenous people communities in Indonesia
which have own characteristic controlling their adat forest. However, the recognition of
indigenous people couldn’t be found in many acts and government regulations in the past.
Between indigenous people and adat forests are two things that cannot be separated.
Mukim is Aceh’s indigenous people controlling and managing adat forests.
The purposes of this research are: (1) to find out and to describe the acts and
regulations concerning forestry and indigenous people, (2) to describe characteristics of
Aceh forests and forestry policies in Aceh Province, (3) to describe the control of adat
forests managements by indigenous people in Aceh (mukim).
This research applies analytical descriptive method by approaching normative and
empirical (non-doctrinal) law research. The data are gathered by literature and field
research. Literature research is conducted to get secondary data by analyzing primary,
secondary and tertiary law sources. While, field research is done to obtain primary data,
by interviewing respondents and informants. Field research is conducted in several
districts in Aceh Province, such as: Aceh Besar, Pidie, Aceh Jaya, and Aceh Barat, which
determined by purposive sampling technique. Data are analyzed by qualitative and
analytic descriptive.
Regulations about Forestry had been enacted since the Netherlands Hindia era
especially applied to Java and Madura. Whereas outside Java and Madura, adat laws
were applied to them. This dualism of law occurred until Indonesia had its independence.
As well as in the era of the Netherlands Hindia, of the Old Governance and of the New
Era regimes there couldn’t be found many acts and regulations concerning indigenous
people. The recognition on the existence of indigenous people and adat forests could be found in acts and regulations which enacted after the era of Reformation. Most of Aceh’s
forest is conservation areas that become deforestation because of illegal logging.
Nowadays, the forestry policies in Aceh refer to the Forestry Act, the Aceh Governance
Act, and the Aceh’s Governor Instruction on Moratorium Logging. Mukim is indigenous
people in Aceh which possessed governance authority, settlement of disputes and control
of their adat forests (ulayat) management. Mukim has legal system and local wisdom in
controlling their adat forests management namely advices and prohibition (taboo),
institutions and indigenous cultures.
It is recommended that the government in making every policy should consider
the existence of indigenous people including their traditional rights. In addition,
Government Regulation on Adat Forest and Indigenous People are also needed to follow
up section 67 of the Forestry Act. In determining the status of forest, it is suggested that
the forests should become: (1) private forests, (2) adat forests, and (3) state forests.
Moreover, government of districts/cities at Aceh Province should publish the forestry
policies base on mukim. Furthermore, the necessary of forming qanun’s
district/municipality about mukim governance that mention the recognition of existences
of mukim adat forests (ulayat). Revitalization and strengthening of mukim governance
which lead by imeum mukim and adat forest institutions which lead by pawang glee are
also important to be conducted. Sejak ratusan tahun lalu, di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang menguasai hutan adat dalam
jangkauannya. Namun pengakuan terhadap masyarakat hukum adat tidak banyak
ditemukan dalam peraturan perundang-undangan dimasa lalu. Antara masyarakat hukum
adat dan hutan adat, dua hal tak terpisahkan. Mukim adalah masyarakat hukum adat di
Aceh yang menguasai dan mengelola hutan adatnya.
Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) menemukan dan mendeskripsikan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang kehutanan dan masyarakat hukum adat, (2)
mendeskripsikan kondisi karakteristik hutan Aceh serta kebijakan kehutanan di Provinsi
Aceh, dan (3) mendeskripsikan penguasaan atas pengelolaan hutan adat oleh masyarakat
hukum adat Aceh (mukim).
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan
penelitian hukum normative dan empiris (non-doctrinal). Data diperoleh melalui
penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk
mendapatkan data skunder dengan menelaah bahan hukum primer, sekunder, dan tertier.
Sedangkan penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer melalui
wawancara dengan para informan dan responden. Penelitian lapangan dilakukan di
beberapa kabupaten dalam Provinsi Aceh, yaitu : di Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh
Jaya, dan Aceh Barat, yang ditentukan dengan tehnik purposive sampling. Analisis data
dilakukan secara kualitatif dan dibahas secara deskriptif analitik.
Peraturan tentang kehutanan telah diterbitkan secara tertulis sejak masa
Pemerintahan Hindia Belanda yang berlaku khusus untuk Jawa dan Madura. Sedangkan
untuk luar Jawa dan Madura berlaku hukum adatnya masing-masing. Dualisme hukum
tersebut berlaku hingga Indonesia merdeka. Baik pada masa Hindia Belanda,
Pemerintahan Orde Lama maupun rezim Orde Baru tidak banyak ditemukan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat. Pengakuan
terhadap keberadaan masyarakat hukum adat dan hutan adat ditemukan dalam peraturan
perundang-undangan yang dibentuk pasca Reformasi. Sebagian besar hutan Aceh adalah
kawasan lindung yang saat ini rusak akibat penebangan liar. Kebijakan kehutanan Aceh
saat ini mengacu pada Undang-Undang tentang Kehutanan, Undang-Undang tentang
Pemerintahan Aceh, dan Intruksi Gubernur tentang Moratorium Logging. Mukim
merupakan masyarakat hukum adat di Aceh yang memiliki kewenangan pemerintahan,
penyelesaian sengketa serta penguasaan atas pengelolaan hutan adat ulayatnya. Mukim
mempunyai system hukum dan kearifan lokal dalam penguasaan atas pengelolaan hutan
adatnya, berupa; anjuran dan pantangan, kelembagaan, dan adat budaya tersendiri.
Disarankan kepada pemerintahan agar setiap kebijakan mempertimbangkan
keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Perlu adanya
Peraturan Pemerintah tentang Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Adat, sebagai tindak
lanjut dari Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam
penetapan status hutan disarankan menjadi: (1) hutan hak, (2) hutan adat, dan (3) hutan
negara. Kepada pemerintahan kabupaten/kota di Provinsi Aceh disarankan untuk
menerbitkan kebijakan kehutanan yang berbasis mukim. Disarankan juga, perlunya
pembentukan Qanun Kabupaten/Kota tentang Pemerintahan Mukim, yang di dalamnya
menegaskan pengakuan keberadaan hutan adat ulayat mukim. Perlu dilakukan revitalisasi
dan penguatan pemerintahan mukim yang dipimpin oleh imeum mukim dan lembaga adat
hutan yang dipimpin oleh pawang glee.
Collections
- Doctoral Dissertations [147]