Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Suatu Studi di Kota Medan)
View/ Open
Date
2006Author
Marlina
Advisor(s)
Harkrisnowo, Harkristuti
Pelly, Usman
Syahrin, Alvi
Metadata
Show full item recordAbstract
All countries in the world take the problem of protecting juvenile delinquency as an important thing to do because children are the future leaders of their own countries, therefore, the countries of the world think to seek for an alternative form of the best solution for the children. Internationally, the conventions regulating the implementation of juvenile justice and becoming the standard of treating the children in the system of criminal justice are Universal Declaration of Human Rights, International Convention on Civil and Political Rights, Convention Against Torture and Other Cruel in Human or Degrading Treatment on Punishment, Standard Minimum Rulers for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules). Republic of Indonesia has tried various attempts to protect the juvenile delinquency by enacting, among other things, Law No.3/1997 on Juvenile Court, Law No.39/1999 on Human Rights and Law No.23/2002 on Child Protection. Juvenile protection needs the provision of complete regulation, understanding and ability of the law upholders in implementing the regulation and community support. This study examines, first, whether or not Law No.3/1997 on Juvenile Court has included the principles of International Standard on the administration of juvenile justice (The Beijing Rules) and how system of juvenile criminal Justice in Indonesia after the effectiveness of Law No. 3/1997 on Juvenile Court, second, how the concept of diversion and restorative justice solve the criminal act done by a child and third, the prospect of the development of diversion and restorative justice concepts in the implementation of Indonesian juvenile justice system. In practice, this study employs the method of normative-legal research and method of sociological-legal research. The primary data were obtained through field research and the secondary data were collected from documentary (library) research. In-depth interviews were carried out for the informants comprising the police officers, public prosecutors, judges, employees of penitentiary, employ of community centers, the activists of non-governmental organization. cultural prominent figures, religious and prominent figures. All the data obtained analyze by method of qualitative data analysis. Based on the previous studies, it is found out that Indonesia has attempted to give protection to the children who have conflict with law by ratifying international convention on children through Presidential Decree No. 36/1999, Law No. 23/2002 on Child Protection and Law No. 39/1999 on Human Rights. The determination provides children with the rights to get protection from violent action, the rights to have legal freedom, the detention is the last alternative, the rights to get legal aid, the right not to get the death sentence and lire imprisonment. Several points of Beijing Rules which are not yet included into Law No. 3/1997 on Juvenile Court are the action to prevent detention, the action of diversion toward juvenile case, to avoid violence in the process of juvenile handling, alternative to early transfer to the informal process. The current implementation of criminal justice has not yet given protection to juvenile delinquency because law upholders still take violent action in handling juvenile cases, the attempt to shift to informal solution by paying attention to the interests of all parties who involve in the process of solving criminal act. The implementation of diversion is still based on the policy made by the law upholders by considering the principle of the best interest of the child. The diversion done is intended to prevent the process of detention and the negative implication of the process of criminal justice. The solution through the concept of restorative justice involves all components of community levels and law upholders to sit together to determine what is the best for the juvenile delinquency. This solution is intended restore the loss inflicted. The responsibility is materialized through material compensation, social work, education and training which are good for the children. The concept of diversion and restorative justice can be carried out in Indonesia. Its supporting factors are that one part of law upholders have done the action of diversion in handling the case of juvenile delinquency based on the individual policy while the community it self have applied the same concept as that of restorative justice in handling the juvenile delinquency and it is also supported by law upholders, religious prominent figures, old custom and tradition prominent leaders, academicians and institution of child protection. It is suggested that Law No.3/1997 on Juvenile Court and its regulation of implementation be revised immediately by paying attention to the existing values in the community and international determination on protecting children in the process of juvenile criminal justice. To implement he development of the concept of diversion and restorative justice, all parties who get involved in the juvenile criminal justice should have the same perception and the availability of community support in terms of paying an attention to and getting involved in the solution process of juvenile delinquency. Semua negara di dunia menganggap persoalan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana merupakan hal yang penting, karena anak merupakan generasi penerus bangsa dimasa depan. Oleh karena itu negara-negara di dunia berfikir untuk mencari bentuk alternatife penyelesaian yang terbaik untuk anak. Secara internasional konvensi internasional yang mengatur pelaksanakan peradilan anak dan menjadi standarperlakuan terhadap anak yang berada dalam sistem peradilan pidana, yaitu Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights), Konvensi Internasional Hal-Hal Sipil dan Politik (International Convention on Civil and Political Rights), Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel in Human or Degrading Treatment on Punishment) dan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai administrasi peradilan anak (Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) Negara Republik Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk melakukan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana diantaranya dengan lahirnya Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan terhadap anak membutuhkan adanya kelengkapan aturan dan pemahaman serta kemampuan aparat penegak hukum dalam melaksanakan ketentuan dan perlunya dukungan dari masyarakat. Adapun yang menjadi permasalahan yaitu, pertama, apakah peraturan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak telah memasukkan prinsip-prinsip Standar Internasional mengenai administrasi peradilan anak (The Beijing Rules) dan bagaimanakah pelaksanaan sistem peradilan pidana anak di Indonesia pasca berlakunya Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Kedua, bagaimanakah konsep diversi dan restorative justice menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan oleh anak dan ketiga, bagaimanakah prospek pengembangan konsep diversi dan restorative Justice dalam pelaksanaan system peradilan pidana anak di Indonesia? Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti mempergunakan metode penelitian yuridis normatif dan yuridis sosiologis. Data yang digunakan data primer yang diperoleh dari studi lapangan (field research) dan data sekunder dari studi pustaka (documentary research). Studi lapangan dilakukan dengan wawancara mendalam (in depth interview) kepada informan yaitu polisi, jaksa, hakim, petugas lembaga pemasyarakatan, petugas balai pemasyarakatan, aktivis lembaga swadaya masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan akademisi. Analisa data dilakukan secara kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian, Indonesia telah melakukan upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum antara lain dengan meratifikasi konvensi intemasional tentang hak anak melalui Kepres No. 36 Tahun 1999, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan tersebut antara lain memberikan perlindungan terhadap anak yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum, tindakan penahanan merupakan upaya terakhir, hak mendapatkan bantuan hukum, hak anak untuk tidak dihukum mati dan hukuman seumur hidup. Beberapa kerentuan Beijing Rules yang belum masuk dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu tindakan untuk menghindarkan penahanan, tindakan diversi terhadap kasus anak, penghindaran kekerasan dalam proses penanganan anak, alternative untuk mengalihkan ke proses informal sejak awal. Pelaksanaan peradilan pidana saat ini masih belum memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana, antara lain adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat hukum dalam menangani kasus anak, belum adanya upaya untuk mengalihkan penyelesaian secara informal yang memperhatikan kepentingan semua pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian tindak pidana. Bentuk pelaksanaan diversi dilakukan berdasarkan kebijakan aparat penegak hukum dengan mempertimbangkan prinsip the best interest of the child (kepentingan terbaik untuk anak). Tindakan diversi yang dilakukan bertujuan untuk menghindarkan ada dari proses penahanan, dan implikasi negatip dari proses peradilan pidana. Penyelesaian dengan mempergunakan konsep restorative justice yaitu dengan melibatkan semua komponen lapisan masyarakat dan aparat penegak hukum bersama-sama bermusyawarah untuk menentukan tindakan terbaik bagi anak pelaku tindak pidana. Penyelesaian ini bertujuan untuk memulihkan kembali kerugian yang telah ditimbulkan. Adapun bentuk pertanggungjawaban yang diberikan yaitu ganti rugi materi, kerja sosial, pendidikan dan pelatihan yang berguna bagi anak. Konsep diversi dan restorative justice dapat dilakukan di Indonesia. Adapun faktor pendukung yaitu sebagian aparat penegak hukum telah melakukan tindakan diversi dalam penanganan kasus anak pelaku tindak pidana berdasarkan kebijakan individu sedangkan didalam masyarakat sendiri dalam menyelesaikan tindak pidana yang dilakukan anak telah menerapkan nilai-nilai yang sama dengan konsep restorative justice. Selanjutnya adanya dukungan dari aparat penegak hukum, pemuka agama, pemuka adat, akademisi dan lembaga perlindungan anak. Sehubungan dengan hasil penelitian desertasi tersebut, maka adapun saran yang diberikan yaitu perlunya untuk melakukan revisi secepatnya terhadap ketentuan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan pembuatan peraturan pelaksana dengan memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan ketentuan Internasional tentang perlindungan terhadap anak dalam proses peradilan pidana anak. Untuk melaksanakan pengembangan konsep diversi dan restorative justice perlu adanya kesamaan persepsi semua pihak yang terlibat dalam peradilan pidana anak dan adanya dukungan masyarakat untuk memberikan perhatian dan ikut terlihat dalam proses penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak.
Collections
- Doctoral Dissertations [147]