Penerapan Prinsip Pembuktian Sederhana dalam Perkara Kepailitan di Pengadilan Niaga (Suatu Karakter Khusus dalam Sistem Hukum Acara Perdata)
View/ Open
Date
2021Author
Fahren
Advisor(s)
Suarmi
Kamello, Tan
Ginting, Budiman
Metadata
Show full item recordAbstract
Summary proof system in a bankruptcy law of civil procedure is one of the most important principles in the law on bankruptcy. Summary proof principle is normed in 1) Article 6, paragraph 5 of Faillissements-Verordening, Staatsblad 1905 No. 217 in conjunction with Staatsblad 1906 No. 348, 2) Article 6, paragraph 3 of Government Regulation, the substitute of Law No. 1/1998 and Law No. 4/1998, and 3) Article 8, paragraph 4 of Law No. 37/2004 on UUK-PKPU. Regulation or Law on Bankruptcy does not clearly and completely regulates the summary proof which eventually there are different verdicts in its implementation on the same cases, either in commercial court or in the Supreme Court.
The research used juridical normative method with statute approach, case approach, historical approach, and conceptual approach which was aimed to analyze the implementation of legal norms in the commercial court and in the Supreme Court by positioning the cases, and analyzing their legal consideration and verdicts.
The result of the research shows that law on bankruptcy and PKPU uses summary proof principle because a) it has time frame, b) historically, it is based on the aspect of civil law, and c) it operates in business law which demands prompt legal certainty. Secondly, the implementation of summary proof norm in the practice in commercial court and the Supreme Court, there are varieties of interpretation since there is no firm parameter in the law on bankruptcy and PKPU. Thirdly, the formula of summary proof norm which can solve the difference in interpretation in the practice in the commercial court is by firmly and clearly formulating done by legislative body and also by mentioning clearly the insolvency model: either insolvency test or simply doesn’t pay.
It is recommended that the legislative body re-formulate summary proof norm in the future law on bankruptcy (ius constituendum) clearly and firmly by adding clear paragraphs; for examples: a) If a petitionee denies his debt claimed by the petitioner, the case will not be simple any more, and it will be an absolute authority of the District Court, b) the petitionee is not required to respond to petitioner’s claim, and he does not have burden of proof anymore, c) insolvency test should be applied by involving an independent public accountant audit debtor’s company in order to avoid solvent company which can be declared bankrupt. Prinsip pembuktian sederhana dalam hukum acara kepailitan merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum kepailitan. Prinsip atau asas pembuktian sederhana telah dinormakan dalam: 1) Pasal 6 ayat (5) Faillissements-Verordening, Staatsblad 1905 Nomor 217 jo Staatsblad 1906 Nomor 348 , 2) Pasal 6 ayat (3) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 dan 3) Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang UUK-PKPU. Peraturan atau undang-undang kepailitan tidak secara jelas dan lengkap mengatur tentang pembuktian sederhana tersebut yang pada akhirnya dalam penerapannya terdapat putusan-putusan yang berbeda terhadap hal-hal yang sama baik di tingkat pengadilan niaga maupun Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan beberapa pendekatan yaitu pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan sejarah (historical approach) serta pendekatan konseptual ( conceptual approach). Penelitian normatif dalam penelitian ini dengan menelaah penerapan norma hukum yang bersumber dari asas pembuktian sederhana dalam putusan-putusan hakim di tingkat pengadilan niaga dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan cara mendudukkan perkara, dan menganalisis pertimbangan dan putusan- putusan hukumnya.
Hasil penelitian disertasi menyimpulkan bahwa hukum kepailitan dan PKPU menggunakan prinsip atau asas pembuktian sederhana karena Pertama, (a) mempunyai tenggang waktu ( time frame) , (b) secara historis didasarkan aspek hukum perdata dan (c), bergerak dalam bidang hukum bisnis yang menuntut kepastian hukum yang lebih cepat. Kedua, penerapan norma pembuktian sederhana dalam praktik pengadilan niaga dan Mahkamah Agung Republik Indonesia terdapat keragaman penafsiran. Hal ini terjadi karena tidak ada parameter yang tegas dalam undang-undang kepailitan dan PKPU. Ketiga, Perumusan norma pembuktian sederhana yang dapat mengatasi perbedaan tafsir dalam praktik di pengadilan niaga ialah dengan cara merumuskan secara tegas dan jelas oleh badan legislatif dengan menyebutkan pula secara jelas model insolvensi yang dianut apakah model insolvency test atau simply desn’t pay.
Berdasarkan kesimpulan tersebut maka direkomendasikan kepada badan legislatif agar merumuskan kembali norma pembuktian sederhana dalam undang-undang kepailitan yang akan datang (ius constituendum) secara tegas dan jelas, dengan menambahkan ayat-ayat penjelas, misalnya: (a) Jika Termohon membantah utang yang didalilkan oleh Pemohon pailit maka perkara tersebut sudah tidak sederhana lagi sehingga telah menjadi kewenangan absolut pengadilan negeri, (b) Termohon tidak wajib memberikan jawaban atas permohonan pemohon dan Termohon tidak diwajibkan beban pembuktian serta (c) untuk menghindari suatu perusahaan yang masih solven dapat dipailitkan maka perlu diadopsi model insolvency test dengan melibatkan akuntan publik yang independen dengan cara mengaudit perusahaan debitor.
Collections
- Doctoral Dissertations [147]