Pertanggungjawaban Negara terhadap Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia yang Menimbulkan Dampak Kabut Asap yang Melintasi Batas Negara dalam Kerangka Kesepakatan Asean
View/ Open
Date
2021Author
Rizky, Fajar Khaify
Advisor(s)
Suhaidi
Syahrin, Alvi
Leviza, Jelly
Metadata
Show full item recordAbstract
The 1945 Constitution mandates natural resources including forest resources to be controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people. The empowerment of forest resources contains state responsibility, which essentially has two dimensions. First, giving the state the right to utilize forest resources based on forest management policies that do not cause forest fires. No. 41/1999 concerning Forestry, Article 50 paragraph (3) letter d regulates the prohibition of burning forest, but the explanation is that burning forest is allowed for special purposes and obtains permission from the authorized official. Thus, forest management in Indonesia is still causing damage to the forest environment. Second, giving responsibility to the state to ensure that activities within its jurisdiction do not cause environmental damage, harm other countries due to forest and land fires based on international law and ASEAN agreements. Legal research methods are normative and supported by empirical data (in the field). Research findings: (1) Forest management and protection in Indonesia has not accommodated the principle of not to cause damage and the principle of the forestry in the explanation of Article 50 paragraph (3) letter d of the UUK that still allows clearing of land by burning forest with the permission of the authorized official and explanation of Article 69 paragraph (2) UUPPLH also still allows land clearing by burning, therefore it cannot guarantee forest sustainability and sustainable forest management and protection. (2) State responsibility in international law is known as responsibility and liability. The form of state responsibility in the concept of international law is regulated in the Draft Articles of Responsibility in the form of restitution, compensation and satisfaction. The responsibility of the Indonesian state for forest and land fires is carried out in the form of restitution (recovering the damage) and satisfaction (apologies), while in the form of liability/compensation Indonesia is not given. Until now, the responsibility has been settled peacefully through consultations and negotiations with countries that have suffered losses as stated in Article 27 of the AATHP. (3) The policies carried out by the Indonesian government related to the AATHP agreement in overcoming forest and land fires have been quite effective in monitoring hotspots and providing information on mapping fire-prone areas, controlling fires that immediately review extinguishing fires to locations, conducting socialization related to the prohibition of clearing land by how to burn, form an integrated team based on Presidential Instruction No. 3 concerning Forest Fire Management and regulations from the Minister of Environment and Forestry, training MPA for each region, law enforcement is sufficiently well coordinated by relevant institutions, implementing peaceful dispute resolution in consultation/negotiation with polluted countries through diplomatic relations, ratifying and ratifying agreements AATHP into Law. No. 26 of 2014 concerning the Ratification of AATHP. UUD 1945 mengamanatkan kekayaan alam termasuk di dalamnya sumber daya hutan dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pemberdayaan sumber daya hutan tersebut memuat tanggung jawab negara (state responsibility) yang pada hakikatnya memiliki dua dimensi. Pertama, memberikan hak kepada negara untuk memanfaatkan sumber daya hutan berdasarkan kebijakan pengelolaan hutan yang tidak menyebabkan kebakaran hutan UU. No. 41/1999 tentang Kehutanan, Pasal 50 ayat (3) huruf d mengatur larangan membakar hutan, namun penjelasannya membakar hutan diperbolehkan untuk tujuan khusus dan mendapat izin pejabat berwenang. Maka, pengelolaan hutan Indonesia masih menyebabkan kerusakan lingkungan hutan. Kedua, memberikan tanggung jawab kepada negara untuk memastikan bahwa aktivitas dalam yurisdiksinya tidak menyebabkan kerusakan lingkungan, merugikan negara lain akibat kebakaran hutan dan lahan berdasarkan hukum internasional dan kesepakatan ASEAN. Metode penelitian hukum normatif dan didukung data empiris (lapangan).
Temuan penelitian: (1) Pengelolaan dan perlindungan hutan di Indonesia belum mengakomodir prinsip not to cause damage dan prinsip the forestry pada penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf d UUK masih memperbolehkan membuka lahan dengan cara membakar hutan atas izin pejabat yang berwenang dan penjelasan Pasal 69 ayat (2) UUPPLH juga masih memperbolehkan membuka lahan dengan cara membakar, oleh karena itu tidak bisa menjamin kelestarian hutan serta pengelolaan dan perlindungan hutan berkelanjutan. (2) Pertanggungjawaban negara dalam hukum internasional dikenal responsibility dan liability. Bentuk pertanggungjawaban negara dalam konsep hukum internasional diatur dalam Draft Articles Responsibilty berupa restitution, compensation dan satisfaction. Pertanggungjawaban negara Indonesia atas kebakaran hutan dan lahan dilakukan dalam bentuk restitution (memulihkan kerusakan) dan satisfaction (permohonan maaf), sedangkan dalam bentuk liability/compensation tidak diberikan oleh Indonesia. Sampai saat ini pertanggungjawaban diselesaikan dengan cara damai melalui konsultasi dan negosiasi dengan negara yang mengalami kerugian sebagaimana dalam Pasal 27 AATHP. (3) Kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia terkait kesepakatan AATHP dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan sudah cukup efektif dalam memantau titik panas dan memberikan informasi pemetaan daerah rawan kebakaran, pengendalian kebakaran yang langsung sigap meninjau memdamkan api ke lokasi, melakukan sosialisasi terkait larangan membuka lahan dengan cara membakar, membentuk tim terpadu berdasarkan Inpres No. 3 tentang Penanggulangan Kebakaran Hutan serta peraturan Menteri LHK, melatih MPA tiap-tiap daerah, penegakan hukum sudah cukup terkoordinasi dengan baik oleh lembaga-lembaga terkait, menerapkan penyelesaian sengketa secara damai dalam konsultasi/negosiasi dengan negara tercemar lewat hubungan diplomatik, meratifikasi dan mengesahkan kesepakatan AATHP ke dalam UU. No. 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan AATHP.
Collections
- Doctoral Dissertations [147]