dc.description.abstract | Indonesia merupakan Negara Agraris, yang di mana mayoritas masyarakat indonesia
berprofesi sebagai petani. Tanah merupakan salah satu unsur penting, bagi masyarakat untuk
menjalankan kegiatan bertaninya. Maka dari itu kepemilikan tanah merupakan faktor penting
bagi petani di Indonesia. Pada perjalanannya kepemilikan tanah ini, kerap menjadi suatu masalah
yang menyebabkan konflik antara Masyarakat, dengan lembaga pemerintahan, swasta ataupun
oknum-oknum yang ingin memilikinya. Salah satu contohnya, terjadi di Kec. Sinembah Tanjung
Muda Hilir, Kab. Deliserdang. Disini, masyarakat yang berprofesi sebagai petani, mengalami
konflik mengenai persoalan kepemilikan tanah dengan pihak PTPN II. Alur konfliknyapun
berlangsung lama, hingga menyeret berbagai aktor di dalamnya. Salah satu aktor yang berperan
penting untuk menyelesaikan permasalahan ini adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
KontraS Sumut. Dimana LSM KontraS Sumut memiliki berbagai strategi dalam upaya
menyelesaikan Konflik ini.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Strategi KontraS Sumut dalam
upaya menyelesaikan kasus Konflik tanah di Kec.STM Hilir Kab. Deliserdang dan alur
kronologis yang terjadi, serta aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Metode yang di gunakan
dalam penelitian ini adalah Deskriptif Kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
cara, observasi, wawancara, serta Studi Kepustakaan. Adapun yang menjadi unit analisis dan
Informan dalam penelitiann ini adalah pihak-pihak dari LSM KontraS Sumut, dan kelompok tani
yang aktif dan mengetahui bagaimana konflik ini. Interpretasi data di lakukan dengan cara
mengolah data yang di dapatkan dari catatan maupun hasil wawancara yang di lakukan di
lapangan.
Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa KontraS Sumut mempunyai dua strategi
dalam upaya menyelesaikan Konflik ini, yang pertama strategi Litigasi, yaitu metode
penyelesaian melalui jalur hukum, dan yang kedua Non Litigasi, yaitu metode yang di pakai di
luar jalur hukum. KontraS lebih cendrung memakai Strategi Non Litigasi yang berjalan dengan
enam metode yaitu, menyurati instansi terkait, rapat dengar pendapat, mediasi, penguatan
kelompok, demonstrasi, dan kampanye media. Alur konfliknya sendiri, terjadi pada tahun 1972
di awali dengan keinginan pihak PTPN II ingin mengganti rugi lahan yang warga garap. Tetapi
dengan biaya yang tidak sesuai, maka warga menolak untuk menyerahkan tanahnya dan wilayah
yang di garap oleh pihak PTPN II itu tidak termasuk di dalam HGU yang dimiliki oleh PTPN II.
Bentrok fisik pun kerap terjadi, hingga jatuhnya korban jiwa di berbagai pihak. Pada tahun 2008,
masyarakat mengajak KontraS untuk ikut membantu menyelesaikan Konflik ini. Setelah terjadi
beberapa kali negosiasi dan mediasi, pada tahun 2014 pihak PTPN II, mengakui bahwa tanah
yang di garap, sebesar 922 HA itu bukanlah lahan yang masuk dalam HGU PTPN II. Sedangkan
untuk aktor-aktor yang terlibat itu di mulai dengan dua Kubu, yaitu pihak PTPN II dengan
Masyarakat dan seiring dengan berjalannya waktu, makin banyak aktor yang terlibat di dalamnya
yaitu, Aparat Keamanan sebagai pengaman pihak PTPN II, pemerintahan, sebagi orang-orang
yag bisa mengambil kebijakan dan keputusan, preman atau mafia tanah yang ikut membantu
pihak PTPN II mengakuisisi tanah yang bersengketa, masyrakat yang tergabung dalam kelompok
tani, dan LSM yang menjadi lembaga pendamping untuk masyarakat. | en_US |